Senin, 13 Juli 2015

???

"Sampai kapan lo mau kaya gini terus Na? Wake up, your life must go on girl..!!", untuk kesekian kalinya Dian memberiku wejangannya.
"Lo nggak capek-capek ya nek. Kan gue udah bilang, gue belum bisa lupain Obi."
"Lo bukannya belum bisa Na, lo nggak mau nyoba."
"Eh nenek, lo lupa, gue udah pernah nyoba, sama Rifky, dan gue gagal."
"Itu karena lo tetap hidup dalam bayangan Obi. Na, gue tahu lo punya cerita indah sama Obi. Tapi seindah apapun cerita itu, lo udah nggak bisa lanjutin. Cerita lo sama Obi udah selesai. SELESAI Na..!!!", Dian menekankan kata terakhir dengan sangat keras, dan itu cukup membuatku terdiam.
"Na, simpan memori tentang Obi rapat-rapat. Please, buka lagi lembaran baru hidup lo. Dengan orang lain. Karena dengan Obi semuanya udah nggak bisa."
Aku masih terdiam. "Gue yakin Na, Obi juga nggak mau lo kaya gini terus. Dia juga pasti pengen lo dapetin kebahagiaan lo sendiri."
"Tapi kemarin gue udah bahagia sama Obi. Kenapa dia malah ninggalin gue?", akhirnya air mata yang sudah mendesak ingin keluar sejak Dian memulai pembicaraan ini  tidak dapat lagi kutahan.
"Gue benci Obi, dia jahat ninggalin gue", isakku. Terbuka kembali luka dua tahun yang lalu.
Dian menarikku dalam pelukannya. "Semua udah jalannya kaya gitu Na. Gue yakin Obi juga nggak mau ninggalin lo. Tapi semua udah terjadi, nggak akan bisa diulang atau diperbaiki lagi. Gue yakin lo kuat Na. Lo orang baik. Gue yakin lo bisa bahagia nantinya walau bukan dengan Obi. Yang penting lo mau mencoba memulainya kembali Na."

                                                             -------------------------------

"Lho mas Rio packing mau kemana?", aku berdiri di depan kamarnya ketika melihat Mas Rio sedang memasukkan pakaiannya ke dalam koper. "Nah tuan putri akhirnya keluar juga dari istananya, udah selesai bertapanya non? Jadi yang mana yang dipilih? Bapak Dokter atau Tuan Insinyur?", bukannya menjawab Mas Rio malah menggodaku. Aku pukul bahunya dengan buku yang dari tadi kupegang.
"Aaww, ya ampun adikku ini bertapa buat nentuin pilihan atau nambah kekuatan sih?"
"Rasain..!! Lagian ditanya bukannya dijawab malah ngomongin yang lain."
"Lho Mas kan cuma pengen tahu, kemarin Ibu bilang ada yang deketin adiknya mas ini. Dua orang lagi. Hihihi", Mas Rio ngomong sambil ketawa-ketawa melihatku.
"Mas mau kemana sih?, aku balik lagi nanya, mengalihkan pembicaraan, kalau nggak, Mas Rio nggak berhenti bahas tentang itu.
"Ke Manado. Mas dapet tugas untuk nanganin proyek di sana.", jawabnya sambil melanjutkan packing.
"Lama mas?", tanyaku. "Dua tahun Na, nggak tau kalau misalnya ntar berlanjut."
"Yah, lama banget mas. Tapi mas pulang kan ntar pas aku wisuda?"
"Mas usahain pulang ntar Na."
"Kapan mas berangkat?"
"Besok pagi Na."
"Hah..??!! Cepet banget mas.", aku tarik Mas Rio keluar kamar. "Eh mau kemana Na, mas kan masih belum selesai packingnya."
"Mas masih ada hutang janji kan sama aku? Jangan bilang lupa deh. Besok mas udah mau berangkat, jadi janjinya harus dibayar hari ini".
"Ya ampun kamu ini. Paling nggak biarin mas selesain dulu packingnya Na. Lagian masa keluar dengan pakaian kaya gini sih."
"Nggak apa-apa, mas Rio kan udah ada Mbak Intan juga. Nggak usah genit mau acara dandan segala. Buruan ah..". Aku lemparin kunci mobil ke mas Rio.
"Bu, Karina keluar ya sama Mas Rio", izinku sama Ibu yang sedang sibuk di dapur.
Dan seharian itu, aku dan Mas Rio berkencan. Setidaknya mungkin itulah yang dilihat oleh orang lain yang nggak tahu kalau sebenarnya Mas Rio adalah kakakku. Hehehe.
Mas Rio memang satu-satunya tempat aku bisa bebas bermanja-manja. Dia selalu menuruti kemauanku. Mungkin karena aku adik satu-satunya. Terlebih setelah dua tahun lalu, aku mengalami peristiwa yang cukup menyakitkan. Mas Rio semakin memanjakan aku. Selalu menjadi 'guardian angel' bagiku, selain Dian, sahabat terbaikku tentunya. Aku nggak tahu jika tidak ada mereka berdua, juga Bapak dan Ibu, mungkin aku belum bisa hidup normal kembali.

                                                               -------------------------------

Aku masih menangis di bahunya Mas Rio. Pagi ini, aku, Bapak dan Ibu, serta Mbak Intan, tunangannya Mas Rio mengantar Mas Rio ke Bandara. Mengingat dua tahun akan berpisah dengannya membuatku merasa sedih dan kehilangan.
"Udah dong Na, nggak malu tuh dilihatin orang. Udah tua juga nangis kaya gitu. Apa coba ntar kata Pak Dokter atau Tuan Insinyur kalo lihat kamu kaya gini. Aduh jelek banget, bisa-bisa mereka ilfeel lihat kamu kaya gini."
Bapak, Ibu, dan Mbak Intan tersenyum mendengar celetukan Mas Rio.
"Jadi kamu belum nentuin Na, mau pilih yang mana? Dua-duanya cocok kok jadi mantu. Ya nggak Pak?", ibu ikut-ikutan sambil melirik Bapak.
"Oh ya jelas tho, mereka kan anaknya teman-teman Bapak. Jadi udah jelas bibit, bobot, dan bebetnya. Siapapun yang dipilih putri Bapak ini di antara mereka, ya Bapak setuju aja nduk", jawab Bapak sambil mengelus rambutku.
"Tuh kan Na. Tinggal pilih aja kok. Bapak Ibu udah setuju. Atau kamu udah punya pilihan sendiri ya? Kalau udah ada buruan dikenalin, biar Pak Dokter sama Tuan Insinyurnya nggak kelamaan nunggu, kasihan kan..??!! " Mas Rio masih terus melontarkan kata-katanya untuk menggangguku.
"Ah Mas Rio cerewet banget ih", aku pun berdiri dan pergi ke toilet, menghindar dari obrolan yang menjadikanku pusat pembicaraan.
Setelah aku balik dari toilet, ku lihat Mas Rio sudah berpelukan dan berpamitan dengan Bapak, Ibu, dan Mbak Intan. Aku langsung memeluknya dan menangis lagi.
"Baik-baik ya adik mas di sini. Kalau ada apa-apa cerita sama Bapak Ibu, juga Mbak Intan. Kamu juga bisa telpon mas kapan aja. Jangan sedih terus. You deserve to be happy sist..!!

                                                               -----------------------------------

Aku dan Dian baru saja  selesai fitting baju kebaya yang akan kami gunakan untuk acara wisuda minggu depan.
"Na, lo mau kemana dari sini? Temenin gue cari kado yuk. Sekalian dah lama ni nggak ngapelin Bang Mamat."
Aku tertawa inget Bang Mamat, pemilik warung makan langganan kami yang dulu pernah nembak Dian buat jadi pacarnya. Hehehe.
"Ayo deh, gue juga nggak ada acara apa-apa lagi. Lo mau cari kado buat siapa nek?", tanyaku.
"Buat ponakan gue, anaknya Kak Vina. Masih dua minggu lagi sih ultahnya, tapi minggu depan ntar nggak sempet gue takutnya. Mumpung ada waktu sekarang. Lagin gue takut keburu lupa."
"Dasar nenek, masih muda udah parah memori lo."
"Yah, you know me so well baby. Lagian kan ada lo yang melengkapi kekurangan gue itu", ujarnya sambil mencolek  daguku. "Najis lo..!" Dian cuma ngakak dengerin umpatanku.

"Eh gimana Mas Rio datang ntar pas wisuda Na?", tanya Dian ketika kami udah nyampe di  tempatnya Bang
Mamat setelah acara cari kado selesai.
"Nggak tau, gue lagi ngambek sama Mas Rio. Dia udah super sibuk banget sekarang. Tiap gue telpon dia bilang lagi ada acara, pengajianlah, mabitlah, atau apaan nggak ngerti gue. Tapi, awas aja kalau dia nggak pulang. Nggak akan gue maafin dia."
"Pengajian? Mabit? Kaya acara anak Rohis di kampus Na. Iya nggak sih?"
"Mana gue tau nek, gue kan gaulnya sama lo mulu. Mana gue paham yang kaya gitu. Lo kan sesat. Hahaha.."
"Sialan lo, gue juga ga sesat-sesat amat kali, nyasar aja dikit. Habis pemuda berjenggot itu nggak ada yang mau ngebimbing gue Na." Aku ketawa denger jawaban Dian yang asal.
"Eh tapi Mas Rio belakangan ni nggak  pernah lagi tuh nyuruh gue untuk nerima Pak Dokter sama Tuan Insinyur yang deketin gue itu. Malah Mas Rio bilang ke Ibu untuk bilang ke mereka nggak usah dateng lagi kecuali udah siap nikahin gue. Aneh sih, tapi gue sih seneng aja, gue bebas dari pertanyaan bapak sama ibu, gue juga nggak sreg tuh sama mereka."
"Wih, serius lo, Mas Rio bilang gitu? Tapi lo yakin nggak akan milih di antara dua orang itu? Buat gue aja kalo gitu Na. Eh tapi gue nungguin Mas Rio sih", lanjutnya yang ku respon dengan jitakan di kepalanya. Sejak aku bersahabat dengannya, sejak kami di SMA, Dian ini emang udah jadi fansnya Mas Rio.
"Mbak Intan, tunangannya, mau lo kemanain? Lagian gue nggak rela punya kakak ipar kaya lo nek." Dian pun cemberut.
"Na, urusan jodoh kan nggak ada yang tau. Emang kalo udah tunangan pasti jadi gitu. Lo lihat aja sekarang, yang udah nikah aja dengan mudahnya bisa cerai. Siapa tau Mas Rio jodoh gue. Who knows? Selama janur kuning belum terpasang, nggak apa-apa dong gue ngarep. Kalo janur kuning udah terpasang pun nggak apa-apa, kutunggu dudamu deh", jelasnya sambil senyum-senyum sendiri. Dan aku pun ketawa dengerin penjelasan Dian. "Stres lo nek. Segitu ngefansnya lo sama Mas Rio."
"And then, how bout yours? Udah bisa move on Na?", senyum tiba-tiba hilang dari wajahku. Mulai lagi nih,batinku. Melihatku diam, Dian mulai keluar lagi tanduknya. Oh No...!!!
"Na, jangan-jangan lo nolak dokter dan insinyur itu bukan karena lo nggak sreg sama mereka ya? Lo masih nginget Obi?" Aku pura-pura sibuk menikmati minumanku, nggak berani menatap Dian.
Dian  menggenggam tanganku, "Na, please...!!!"
"Gue belum bisa", hanya itu yang bisa keluar dari bibirku. Terdengar helaan nafas dari Dian.
"Na, lo yakin Obi mau lihat lo kaya gini? Gue yakin Obi juga mau lihat lo bahagia Na"
"Dian, gue bahagia dengan keadaan gue sekarang. Gue punya keluarga yang selalu ada buat gue, gue punya lo di samping gue, dan gue masih punya Obi dalam hati gue. Dan itu sudah cukup membuat gue bahagia. So, gue nggak harus mencari-cari kebahagiaan lain lagi."
"Tapi Na, keluarga lo dan juga gue nggak akan selalu bisa ada buat lo ke depannya. Nggak akan bisa dampingin lo selamanya. Time flies. Everything will be changed. Each of us will makes our own business. That's why you'll need someone to be happy with till the end Na."
"Oh, jadi lo nganggep gue bakal ganggu masa depan lo ntar? Okay fine, then i know that i won't be in your future. I get it. Sorry gue balik duluan." Aku pun pergi ninggalin Dian yang masih terdiam di tempatnya.
"I never mean like that Na. I just want to see you happy", lirihnya.

-----------
Line Notes 26042014

Minggu, 11 Januari 2015

It's 2015

Annyeong.. 

It's 2015 already saudara-saudara. Saatnya memasang target baru. Baru..?? Nggak juga sih, hehehe. Masih sama dengan tahun kemarin, cuma agak dipermak aja, itupun cuma dikit, hahaha. Poin nomor 5 dipending sampai batas waktu yang belum ditentukan, karena mau fokus ngurus lapak sendiri dulu tahun ini. Tambahannya adalah manajemen waktu yang lebih baik, fokus dan konsisten berusaha, dan always give the best in everything you do. Jangan sampai target tahun depan balik sama lagi kaya sekarang. karena, itu sungguh terlalu. :( Just remember Bo, Practice + Repetition make Habbit, so always do the good ones.

Btw, tahun baru, suasananya baru juga, yaahuuuu..!! :) Karena pada akhirnya, pindah juga dari kosan yang lama. Krisis air teratasi sudah. Kosan baru airnya melimpah, Alhamdulillah. Tempatnya juga lebih "hijau". Pagi-pagi masih bisa nyium bau rumput basah, dengerin kicau burung, bisa lihat kerbau dan sapi sarapan. Syahdu habis pokoknya. 

Ini penampakan depan kos baru. :)



Walau lebih jauh dan lebih mihil nggak apa-apa deh, it's worth it. Lagian di kos baru tetanggaan sama Sarah dan Yuna, jadi walau lebih jauh untuk ke kantor, aku rela deh jalan kaki, karena ada teman jalan, sekalian biar lebih hemat dan sehat juga, hehe. Siapa tahu banyak jalan, aku bisa cepat berubah jadi kayak Yuri. (kata Kak Betta, kalo kayak Yoona bakal lebih lama berubahnya, jadi ganti Yuri aja deh. Atau Tiffany aja yah. kalo nggak Taenggo aja. Hahahaha. Nggak ngaruh juga kali Bo, sama aja, sama-sama susah #frustasi)

Dan yang baru juga adalah, dapet tanggung jawab baru di kantor. Lebih berat banget banget. Harus lebih banyak belajar jalanin tugas tersebut. Tapi udah janji nggak boleh nyerah kan ya, berusaha dan yakin aja pokoknya. Yang sudah dipilihin sama Allah adalah yang terbaik, selalu akan ada jalan dan kemudahan dariNya. Semoga 2015 menjadi tahun yang sangat bersahabat untuk semua. Fighting..!!!!